Faktanya, Indonesia adalah asal atau rumah dari sekitar 30 ribuan jenis tanaman obat dari total 40 ribuan jenis tanaman obat yang ada di dunia. Dari 34 provinsi, masing-masing memiliki potensi dan jenis tanaman obat yang banyak dan beragam jenis.
Dosen Ilmu Farmasi Inayati Ali Ghufron mengatakan pengobatan dengan menggunakan bahan alami perlu dikembangkan secara terus menerus dengan melakukan riset sehingga khasiat dan kegunaannya dapat terbukti.
Istri Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron ini mengatakan tanaman obat terbagi menjadi tiga. Pertama adalah tanaman obat tradisional yaitu tanaman yang diketahui sudah memiliki khasiat obat. Kedua adalah tanaman obat modern yaitu tanaman obat yang telah dibuktikan secara ilmiah mengandung bahan bioaktif berkhasiat obat. Penggunaannya, lanjut Ina, dapat dibuktikan secara medis.
"Ketiga adalah tanaman yang belum terbukti memiliki khasiat terhadap kesehatan," terang Ina dalam sebuah seminar, Rabu (26/6).
Biaya pengembangan obat modern terbilang besar. Dengan menggunakan bahan baku obat baru, pengembangan obat memakan waktu sekitar 10 tahun. Para peneliti dalam proses ini harus memilih satu molekul di antara 5.000 kandidat molekul dengan siklus pembaruan mulai 3 hingga 10 tahunan. Dari penelitian yang lama dan mahal tersebut, sekitar 60% produk obat terkena penarikan dari pasaran karena berbagai alasan seperti tidak laku.
Sementara pengobatan menggunakan bahan alami menggunakan praktik empiris yaitu untuk pencegahan penyakit, meningkatkan kondisi kesehatan, penyembuhan penyakit dan kosmetik. Agar bisa digunakan sebagai alternatif pengobatan, riset dan penelitian terhadap tanaman obat harus terus dilakukan. Menurut Ina, belum banyak tanaman obat yang dimanfaatkan dalam pengobatan modern saat ini.
Beberapa jenis tanaman obat yang sudah terbukti memiliki kegunaan terhadap kesehatan di antaranya temulawak, kumis kucing, brotowali, buah merah, dan sarang semut. Mereka telah terbukti dapat menyembuhkan bermacam-macam penyakit seperti Diare, Darah Tinggi, Diabates, Hiperkolesterol, Hepatitis, Asam Urat, Asma, Batu Ginjal, Reumatik, Batu Empedu hingga keputihan dan Obesitas.
Kendati memiliki potensi besar, Ina mengatakan ada beberapa hal yang dapat mengancam keberlangsungan tanaman obat di antaranya adalah ketersediaan dan sustainability atau keberlanjutan adanya bahan baku, kalah kualitas dengan barang impor, kurangnya penelitian dan belum adanya jaringan yang saling bersinergi.
"Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memperkuat pengembangan tanaman obat di antaranya mengembangkan kebijakan yang mendukung perkembangan tanaman obat, menguatkan riset yang berorientasi kepada kebutuhan serta meningkatkan produksi material yang tersedia dalam negeri," terang Ina kepada Media Indonesia.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu Indah Yuning Prapti mengatakan dari sekitar 30 ribuan tanaman obat yang ada di Indonesia, sekitar 7 ribu di antaranya sudah teridentifikasi dan digunakan untuk kepentigan medis.
Tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan dikategorikan berdasarkan kelompok spesies, habitat tubuh, pembentukan alami, jenis penyakit dan bagian dari tanaman yang digunakan untuk pengobatan.
Ketua Program Studi Pengobatan Tradisional Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dr Arijanto Jonosewejo meminta masyarakat berhati-hati terhadap banyaknya pengobatan yang mengatasnamakan obat alami atau herbal. Dia menegaskan iklan-iklan yang menyatakan pengobatan dengan bahan herbal secara 100% tidak semuanya benar. Beberapa obat yang diklaim berbahan herbal baru merupakan obat yang diuji secara praklinik pada hewan.
Tanaman obat, lanjutnya, harus memiliki prinsip-prinsip yaitu promotif (menyehatkan badan), preventif (pencegahan dari penyakit), kuratif (menyembuhkan penyakit), rehabilitatif (pemulihan setelah sakit) dan paliatif (mengurangi penderitaan pasien dari penyakit yang tidak bisa disembuhkan)
Dosen Ilmu Farmasi Inayati Ali Ghufron mengatakan pengobatan dengan menggunakan bahan alami perlu dikembangkan secara terus menerus dengan melakukan riset sehingga khasiat dan kegunaannya dapat terbukti.
Istri Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron ini mengatakan tanaman obat terbagi menjadi tiga. Pertama adalah tanaman obat tradisional yaitu tanaman yang diketahui sudah memiliki khasiat obat. Kedua adalah tanaman obat modern yaitu tanaman obat yang telah dibuktikan secara ilmiah mengandung bahan bioaktif berkhasiat obat. Penggunaannya, lanjut Ina, dapat dibuktikan secara medis.
"Ketiga adalah tanaman yang belum terbukti memiliki khasiat terhadap kesehatan," terang Ina dalam sebuah seminar, Rabu (26/6).
Biaya pengembangan obat modern terbilang besar. Dengan menggunakan bahan baku obat baru, pengembangan obat memakan waktu sekitar 10 tahun. Para peneliti dalam proses ini harus memilih satu molekul di antara 5.000 kandidat molekul dengan siklus pembaruan mulai 3 hingga 10 tahunan. Dari penelitian yang lama dan mahal tersebut, sekitar 60% produk obat terkena penarikan dari pasaran karena berbagai alasan seperti tidak laku.
Sementara pengobatan menggunakan bahan alami menggunakan praktik empiris yaitu untuk pencegahan penyakit, meningkatkan kondisi kesehatan, penyembuhan penyakit dan kosmetik. Agar bisa digunakan sebagai alternatif pengobatan, riset dan penelitian terhadap tanaman obat harus terus dilakukan. Menurut Ina, belum banyak tanaman obat yang dimanfaatkan dalam pengobatan modern saat ini.
Beberapa jenis tanaman obat yang sudah terbukti memiliki kegunaan terhadap kesehatan di antaranya temulawak, kumis kucing, brotowali, buah merah, dan sarang semut. Mereka telah terbukti dapat menyembuhkan bermacam-macam penyakit seperti Diare, Darah Tinggi, Diabates, Hiperkolesterol, Hepatitis, Asam Urat, Asma, Batu Ginjal, Reumatik, Batu Empedu hingga keputihan dan Obesitas.
Kendati memiliki potensi besar, Ina mengatakan ada beberapa hal yang dapat mengancam keberlangsungan tanaman obat di antaranya adalah ketersediaan dan sustainability atau keberlanjutan adanya bahan baku, kalah kualitas dengan barang impor, kurangnya penelitian dan belum adanya jaringan yang saling bersinergi.
"Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memperkuat pengembangan tanaman obat di antaranya mengembangkan kebijakan yang mendukung perkembangan tanaman obat, menguatkan riset yang berorientasi kepada kebutuhan serta meningkatkan produksi material yang tersedia dalam negeri," terang Ina kepada Media Indonesia.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu Indah Yuning Prapti mengatakan dari sekitar 30 ribuan tanaman obat yang ada di Indonesia, sekitar 7 ribu di antaranya sudah teridentifikasi dan digunakan untuk kepentigan medis.
Tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan dikategorikan berdasarkan kelompok spesies, habitat tubuh, pembentukan alami, jenis penyakit dan bagian dari tanaman yang digunakan untuk pengobatan.
Ketua Program Studi Pengobatan Tradisional Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dr Arijanto Jonosewejo meminta masyarakat berhati-hati terhadap banyaknya pengobatan yang mengatasnamakan obat alami atau herbal. Dia menegaskan iklan-iklan yang menyatakan pengobatan dengan bahan herbal secara 100% tidak semuanya benar. Beberapa obat yang diklaim berbahan herbal baru merupakan obat yang diuji secara praklinik pada hewan.
Tanaman obat, lanjutnya, harus memiliki prinsip-prinsip yaitu promotif (menyehatkan badan), preventif (pencegahan dari penyakit), kuratif (menyembuhkan penyakit), rehabilitatif (pemulihan setelah sakit) dan paliatif (mengurangi penderitaan pasien dari penyakit yang tidak bisa disembuhkan)